Pedulikarnivorjawa.org - Rampogan sima, atau rampok macan, adalah sebuah tradisi brutal yang pernah dilakukan di Jawa. Ini adalah bagian dari upacara besar yang kerap digelar di alun-alun kota, biasanya bertepatan dengan hari raya atau perayaan tertentu. Tradisi ini menjadi bagian dari sejarah kelam yang ikut mempercepat kepunahan harimau Jawa (Panthera tigris sondaica).
Proses Rampogan Sima
Pada rampogan sima, harimau yang ditangkap dari hutan dibawa ke alun-alun dengan kandang tertutup. Di sekeliling alun-alun, para lelaki bersenjata bambu runcing siap menghadang binatang buas tersebut. Setelah semua persiapan selesai, kandang harimau dibuka dari jarak jauh, dan binatang itu dipaksa keluar. Berbagai cara digunakan untuk memancing harimau keluar, seperti suara gaduh, ledakan, atau api. Ketika harimau keluar dari kandangnya, ia terjebak dalam kepungan manusia.
Di setiap sudut yang didekati harimau, ia akan dihujani tusukan dari bambu runcing. Harimau, dengan naluri untuk bertahan hidup, tentu akan mencoba melarikan diri, tetapi ruang geraknya terbatas, dan tiap gerakan akan disambut dengan serangan. Pada akhirnya, harimau tersebut akan kehabisan tenaga dan darah akibat tusukan yang bertubi-tubi hingga akhirnya tewas.
Alasan Diadakannya Rampogan
Rampogan sima memiliki akar dalam kepercayaan masyarakat Jawa akan kekuatan dan status. Harimau dianggap sebagai simbol kekuasaan, sehingga mengalahkan hewan ini dalam rampogan dianggap sebagai bukti keberanian dan kekuatan. Selain itu, rampogan juga dianggap sebagai bentuk hiburan bagi masyarakat pada masa itu.
Selain harimau, rampogan juga sering melibatkan banteng, terutama pada acara yang disebut rampogan banteng. Meski tujuannya serupa—mengalahkan binatang buas—rampogan sima lebih terkenal karena keikutsertaannya dalam proses kepunahan harimau Jawa.
Dampak terhadap Kepunahan Harimau Jawa
Praktik rampogan sima secara langsung mempercepat punahnya harimau di pulau Jawa. Tradisi ini berlangsung hingga awal abad ke-20, di mana harimau Jawa sudah mulai mengalami penurunan populasi akibat perburuan, hilangnya habitat, dan ekspansi pertanian. Pemerintah kolonial Hindia-Belanda akhirnya melarang tradisi rampogan ini pada tahun 1905, mengakui dampak negatifnya terhadap populasi harimau yang semakin menipis.
Namun, upaya pelarangan ini terlambat. Harimau Jawa secara resmi dinyatakan punah pada tahun 1980-an setelah populasi mereka terus menurun. Hilangnya habitat alami mereka karena pembukaan hutan besar-besaran untuk perkebunan dan perburuan liar membuat harimau ini tidak lagi mampu bertahan di alam liar.
Warisan Budaya dan Refleksi
Rampogan sima, meskipun sudah lama dihapuskan, meninggalkan jejak sejarah yang menyedihkan. Ini adalah contoh betapa tradisi yang melibatkan kekerasan terhadap satwa liar bisa memiliki dampak yang mengerikan, tidak hanya terhadap ekosistem tetapi juga terhadap nilai-nilai kemanusiaan kita.
Kita bisa belajar dari sejarah ini bahwa perlakuan yang tidak manusiawi terhadap hewan, terutama yang terancam punah, hanya akan membawa kehancuran. Kini, harimau Jawa telah tiada, dan hal ini harus menjadi pengingat bagi kita untuk lebih melindungi satwa liar yang masih tersisa di Indonesia, seperti harimau Sumatra, agar tidak mengalami nasib yang sama.