Pedulikarnivorjawa.org - Harimau telah menjadi bagian dari sejarah dan mitos di banyak daerah di Indonesia, termasuk di Malang. Kisah tentang harimau selalu menarik perhatian, baik sebagai predator yang ditakuti maupun sebagai simbol kekuatan dan mistisisme. Namun, seiring waktu, harimau-harimau ini lenyap dari alam Malang, meninggalkan jejak yang hanya bisa ditemukan melalui sisa-sisa sejarah.
Salah satu tokoh yang hidup bersama harimau adalah Abdullah Sholeh, yang dikenal dengan panggilan Cak Sholeh. Selama 13 tahun, ia hidup dengan seekor harimau Benggala bernama Mulan Jamilah di Malang, sebuah hubungan yang menggambarkan bagaimana manusia bisa bersahabat dengan hewan yang umumnya dianggap sebagai musuh alam.
Meski demikian, fakta bahwa harimau di alam liar Malang kini telah lama punah membawa pertanyaan penting: apakah harimau adalah musuh manusia, atau hewan yang seharusnya dilindungi? Pertanyaan ini mencuat ketika pada September 2020, Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Jawa Timur menemukan sebuah tengkorak yang diduga berasal dari harimau Jawa (Panthera tigris sondaica) di Lowokwaru, Kota Malang.
Penemuan ini menimbulkan spekulasi tentang apakah harimau masih ada di sekitar Malang atau tidak. Meskipun hasil identifikasi awal menunjukkan tengkorak tersebut kemungkinan milik macan tutul, temuan ini kembali membuka diskusi tentang sejarah harimau di Malang.
Sejarah Harimau di Malang
Keberadaan harimau di wilayah Malang sudah tercatat sejak zaman dahulu. Menurut laporan sejarah dari abad ke-19, harimau Jawa berkeliaran di wilayah-wilayah seperti lereng Gunung Semeru, Pulau Sempu, hingga kawasan Malang Selatan. Namun, ruang jelajah harimau sangat luas, mencapai puluhan hingga ratusan kilometer, sehingga tidak ada yang secara spesifik bisa disebut sebagai harimau Malang. Satu-satunya spesies yang dikenal adalah harimau Jawa, yang juga ditemukan di daerah lain seperti Probolinggo, Kediri, dan Pasuruan.
Harimau Jawa adalah salah satu spesies kucing besar yang sangat ditakuti karena ukurannya yang jauh lebih besar daripada macan tutul. Meskipun tidak ada catatan pasti kapan harimau pertama kali muncul di Malang, berbagai bukti arkeologis dan laporan dari zaman kolonial menunjukkan bahwa harimau sudah ada di wilayah ini sejak lama. Salah satu bukti sejarah penting adalah arca harimau yang ditemukan di Singosari. Arca ini berasal dari masa kerajaan Hindu-Buddha dan mengindikasikan bahwa harimau memiliki peran penting dalam kehidupan masyarakat masa lampau.
Perburuan dan Punahnya Harimau Jawa
Selain sebagai bagian dari ekosistem, harimau juga menjadi objek perburuan bagi orang Eropa selama masa kolonial. Para pemburu harimau dari Eropa, khususnya Belanda, kerap berburu di daerah-daerah seperti Banten, Krawang, dan Malang Selatan.
Mereka melakukan perburuan tidak hanya untuk melindungi penduduk dari ancaman harimau, tetapi juga untuk kesenangan pribadi. Laporan dari koran kolonial Nieuwe Courant pada tahun 1850 menyebutkan bahwa kawasan Malang Selatan, terutama di lereng Gunung Semeru, adalah salah satu lokasi favorit para pemburu harimau.
Namun, perburuan besar-besaran ini menyebabkan penurunan drastis populasi harimau Jawa. Menurut laporan dari De Locomotief pada tahun 1870, insiden harimau menyerang penduduk di daerah Oesang, Malang, mendorong warga untuk memburu hewan tersebut hingga ke perkampungan. Dalam peristiwa tersebut, beberapa penduduk asli, termasuk Pa Dowa dan Pa Selemen, menjadi pahlawan karena berhasil menyelamatkan rekannya dari serangan harimau di kebun kopi. Namun, tidak dijelaskan apakah harimau tersebut berhasil dibunuh atau hanya diusir.
Selain penduduk pribumi, para pemburu harimau dari kalangan Eropa juga kerap melakukan perburuan yang tidak etis. Pada tahun 1884, sebuah insiden di Probolinggo menjadi sorotan ketika seekor harimau yang enggan menyerang kerbau disiram minyak tanah dan dibakar. Peristiwa ini memicu kecaman dari masyarakat dan pejabat setempat, meskipun tidak ada tindakan nyata yang diambil terhadap para pelakunya.
Kontroversi Pemburu Harimau
Perburuan harimau oleh orang Eropa tidak selalu dilakukan dengan tujuan yang mulia. Banyak di antara mereka yang melakukannya semata-mata untuk kesenangan pribadi. Pada tahun 1884, sebuah laporan dari surat kabar Java-Bode menyebutkan bahwa di Probolinggo, seekor harimau dibakar hidup-hidup hanya karena tidak mau menyerang kerbau dalam sebuah acara perburuan.
Peristiwa ini menjadi kontroversi dan memicu perdebatan tentang etika perburuan. Meskipun insiden ini dilaporkan kepada pemerintah kolonial, tidak ada sanksi yang dijatuhkan kepada para pelakunya.
Di sisi lain, tidak semua orang Eropa yang tinggal di Jawa mendukung perburuan harimau. Beberapa di antara mereka, terutama dari kalangan intelektual dan pejabat, menentang tindakan tersebut. Residen Probolinggo, misalnya, disebutkan sebagai salah satu pejabat yang tidak setuju dengan praktik pembakaran harimau untuk hiburan. Namun, resistensi semacam ini jarang terlihat karena perburuan harimau sudah menjadi bagian dari budaya kolonial saat itu.
Masa Depan Harimau di Jawa
Harimau Jawa mungkin telah punah dari alam liar, tetapi jejak mereka masih bisa ditemukan dalam sejarah dan kebudayaan Jawa. Kisah-kisah tentang pertemuan antara manusia dan harimau, seperti yang dialami oleh Pa Dowa di Malang, menunjukkan bahwa hubungan antara manusia dan harimau tidak selalu bermusuhan. Bahkan, dalam beberapa kasus, harimau dianggap sebagai simbol kekuatan dan pelindung alam.
Namun, perburuan besar-besaran oleh para kolonialis dan penghancuran habitat harimau oleh aktivitas manusia telah menyebabkan kepunahan harimau Jawa. Kini, populasi harimau di Jawa hanya tersisa pada cerita-cerita masa lalu dan temuan arkeologis, seperti tengkorak yang ditemukan di Lowokwaru, Malang. Meski harimau tidak lagi berkeliaran di hutan-hutan Malang, sejarah mereka tetap hidup sebagai pengingat bahwa manusia dan alam harus hidup berdampingan secara harmonis.
Penemuan tengkorak yang diduga harimau Jawa ini mungkin adalah salah satu sisa terakhir dari spesies yang pernah menguasai hutan-hutan di Malang. Meskipun tengkorak tersebut belum bisa dipastikan milik harimau, penemuan ini membuka kembali diskusi tentang perlindungan satwa dan pentingnya menjaga ekosistem agar kejadian serupa tidak terjadi pada spesies lain.