Keberadaan harimau Jawa semakin terancam seiring dengan waktu. Habitatnya yang terus menyempit menjadi salah satu faktor yang menyebabkan penurunan populasi harimau ini. Namun, di balik fenomena tersebut, terdapat praktik budaya kuno yang turut menyumbang pada berkurangnya jumlah harimau Jawa: Rampogan Macan.
Rampogan macan, sebuah tradisi yang telah melintasi berabad-abad di Jawa, memiliki peran yang signifikan dalam dinamika keberlangsungan populasi harimau Jawa. Konsepnya, mirip dengan pertunjukan gladiator pada masa kejayaan Romawi, memperlihatkan betapa beragamnya hubungan antara manusia dan satwa liar di masa lalu.
Dokumentasi sejarah menyebutkan bahwa dalam rampogan macan, harimau sering kali diadu dengan berbagai jenis hewan, mulai dari gajah, banteng, hingga kerbau. Bahkan, tak jarang pula manusia terlibat dalam pertunjukan mematikan ini. Budaya ini telah merajalela di Jawa sejak abad ke-17 hingga ke-19, dan secara resmi dilarang oleh pemerintah kolonial Belanda pada tahun 1905 karena menjadi salah satu faktor utama punahnya harimau Jawa.
Sumber sejarah mencatat bahwa tradisi rampogan macan pertama kali muncul pada masa Kerajaan Mataram Islam, tepatnya pada masa pemerintahan Amangkurat II di Kartasura. Pertunjukan ini kerap diadakan saat kunjungan dari tamu agung, seperti Gubernur Jenderal Belanda, maupun dalam perayaan hari besar Islam. Meskipun pertunjukan ini awalnya berpusat di Surakarta dan Yogyakarta, namun seiring berjalannya waktu, ia merambah hingga ke daerah-daerah di luar keraton, termasuk di Blitar.
Pada abad ke-19, masyarakat mulai menganggap harimau sebagai ancaman serius karena seringkali memangsa hewan ternak. Penguasa pada saat itu, sebagai respons terhadap keluhan penduduk, mengeluarkan perintah untuk menangkap dan membunuh harimau. Harimau yang berhasil ditangkap akan dijadikan peserta dalam pertunjukan rampogan macan, dimana ia harus berhadapan dengan manusia atau bahkan hewan lain, seperti kerbau.
Pertunjukan rampogan macan sendiri memiliki ritual yang cukup menegangkan. Harimau yang ditangkap biasanya dikurung dalam sebuah kerangkeng di utara alun-alun. Sebelum pertunjukan dimulai, harimau ditakuti-takuti dengan obor agar masuk ke dalam peti. Ketika peti telah ditutup, maka pertunjukan dimulai. Prajurit dengan tombak berbaris melingkari peti, sementara suara gamelan dan gendhing mengisi udara.
Salah satu utusan kerajaan kemudian akan memutuskan tali yang menahan tutup peti, yang kemudian diikuti dengan pembakaran alang-alang di sekitar peti. Tujuannya sederhana: membuat harimau kepanasan sehingga terdorong untuk keluar dari peti dan bersiap untuk pertarungan. Harimau ini kemudian diadu dengan manusia atau hewan lain, seperti kerbau yang sebelumnya telah digepyok atau disiram dengan air cabai untuk menimbulkan efek yang membuatnya marah.
Namun, ironisnya, dalam banyak kasus, harimau atau macan sering kali tidak mampu bertahan lama di pertarungan. Ketika kalah atau tidak mampu memberikan pertunjukan yang memuaskan, mereka digantikan dengan harimau atau macan lainnya, menciptakan siklus pertarungan yang tak berujung.
Tradisi ini, meskipun mungkin di masa lalu dianggap sebagai hiburan yang menghibur, namun tidak dapat dipungkiri bahwa ia telah berkontribusi pada degradasi populasi harimau Jawa. Dengan menempatkan hewan ini dalam situasi pertarungan yang tidak alamiah, praktik ini telah mempercepat proses punahnya harimau Jawa.
Selain dari segi konservasi, penting juga untuk mempertimbangkan aspek kemanusiaan dalam memahami dan menilai praktik-praktik budaya seperti rampogan macan ini. Keberadaan hewan-hewan ini bukanlah semata-mata untuk hiburan manusia, namun juga memiliki hak-haknya sebagai makhluk hidup yang layak untuk dihormati dan dilindungi.
Oleh karena itu, sangatlah penting bagi kita untuk memahami dampak dari setiap tindakan kita terhadap lingkungan dan kehidupan liar di sekitar kita. Hanya dengan kesadaran akan pentingnya pelestarian dan perlindungan spesies-spesies yang terancam punah, kita dapat mengambil langkah-langkah yang konstruktif untuk menjaga keberlangsungan hidup mereka di planet ini.
Dalam menghadapi ancaman kepunahan, langkah-langkah konservasi yang komprehensif perlu diambil. Ini termasuk upaya untuk melindungi habitat alami mereka, mengurangi konflik antara manusia dan harimau, serta menghentikan praktik-praktik budaya yang merugikan seperti rampogan macan. Hanya dengan upaya bersama dari semua pihak, kita dapat menjaga keberlangsungan harimau dan keberagaman hayati lainnya untuk generasi mendatang.