Satwa-satwa kunci maupun satwa lain yang masih hidup disebuah Taman Nasional, merupakan “nyawa” atau “jiwa” hidupan liar yang ada di taman tersebut. (Milton, 1972)
Kekayaan Biodiversitas Indonesia memiliki keanekaragaman yang tergolong tinggi di dunia, bahkan Indonesia juga dianggap sebagai sisa ‘Atlantis’ benua yang hilang. Hal ini berarti segala kekayaan Plasma Nutfah yang ada di Indonesia saat ini merupakan warisan penting yang harus diselamatkan. Padahal “ekosistem pulau” yang dimiliki Indonesia memiliki tingkat ancaman kepunahan tinggi karena sifatnya yang ‘fragil’. Kondisi tersebut membuka peluang bagi percepatan kepunahan segala spesies mamalia darat terutama golongan karnivora besar. Adapun spesies itu salah satunya adalah harimau loreng yang berada di Pulau Jawa –sebuah pulau yang terpadat penduduknya.
Harimau loreng tergolong karnivor besar yang memiliki daerah sebaran geografis sangat luas, membentang dari lembah Tigris di Siberia hingga di Rusia Timur; lalu di India kecuali Srilangka; kemudian di Indocina dan semenanjung Malaysia; hingga di kepulauan Indonesia meliputi Sumatera, Jawa dan Bali. Satwa ini dianggap berasal dari lembah Tigris yang kemudian menyebar hingga di Bali melewati rentang waktu ribuan tahun. Adanya perubahan tinggi permukaan air laut dan fragmentasi antar populasi, menjadikan spesies harimau loreng dikenal dengan 8 sub-spesies. Sedangkan dewasa ini harimau kaspia, harimau bali dan harimau jawa sudah dianggap punah.
Harimau jawa menjadi kajian yang unik, karena mendiami pulau yang subur dengan gugusan gunung berapi yang aktif dan berpenduduk terpadat di Indonesia. Raffles (1811) terkesima menyaksikan panorama hutan dengan gunung berapi di Jawa yang membentuk “bayangan” surga karena kesuburannya. Menurut Junghuhn seorang naturalis Jerman, yang pernah mengelilingi Pulau Jawa sekitar tahun 1850-an mendiskripsikan bahwa pulau ini memiliki keindahan alam yang tiada tara. Banyak satwa liar besar berkeliaran di hutan dan sepertinya hidup nyaman berdampingan dengan penduduk lokal. Bahkan disebutkan kalau harimau loreng masih berkeliaran di pinggir desa yang berbatasan dengan hutan. Berarti sekitar duaratus tahun yang lalu, harimau loreng hampir mendiami seluruh Pulau Jawa yang masih berselimutkan hutan tropis lembab. Hanya saja setelah kebijakan tanam paksa dari kolonial Belanda, merombak hutan tropis dataran rendah -habitat ideal bagi harimau loreng menjadi perkebunan tebu dan jati sehingga memunculkan konflik dengan satwa liar. Akibatnya banyak pembantaian yang terjadi, bahkan tercatat sekitar 1000 ekor harimau jawa terbunuh di rentang tahun 1750 – 1900-an.
Dapat dikatakan bahwa sebelum tahun 1900-an harimau loreng di Jawa belum mendapat perhatian yang serius, akibatnya perburuan berjalan terus dan seorang pemburu bernama A. J. M. Ledeboer mengaku sempat menembak hampir sepuluh ekor (1910-1940). Hoogerwerf mencatat bahwa sampai dengan sekitar tahun 1940 harimau loreng masih dibunuh dari Malang Selatan (Jawa bagian Timur) dan dari Banten Selatan (Jawa sisi Barat). Sehingga sekitar tahun 1940-an, beberapa Naturalis beranggapan bahwa harimau loreng sepertinya hanya tersisa sedikit dan kemungkinan hanya mampu bertahan hidup di pegunungan yang berhutan lebat yang letaknya terpencil.
Kondisi paska penyerahan Jepang ke pihak Sekutu (1945), mempengaruhi dinamika kehidupan di Pulau Jawa dengan terjadinya pergolakan perang Kemerdekaan. Hal ini juga berimbas terhadap kehidupan harimau loreng, karena walaupun para Naturalis Dunia telah menaruh perhatian besar terhadap kelestarian satwa ini sebelum PD II terjadi, tetap tidak berkesempatan guna memperbaiki populasinya. Baru setelah pertengahan tahun 1950-an (dimana pergolakan politik mulai mereda karena telah berdirinya sebuah Negara Indonesia), Hoorgerwerf melakukan kajian lanjutan harimau loreng di Ujung Kulon, setelah di tahun 1938 beliau berhasil memotret sosok harimau secara langsung dari alam. Namun Hoogerwerf berpendapat bahwa harimau loreng di kawasan ini telah mengalami penurunan populasi. Berdasar alasan itu, banyak konservasionis berpendapat tentang kemungkinan akan kehilangan satu jenis binatang yang tidak mungkin tergantikan, karena disebagian besar kawasan berhutan P. Jawa yang tersisa sudah banyak berubah fungsinya.
Walaupun begitu masih ada pelaporan dari beberapa daerah tentang adanya harimau loreng yang hidup di kawasan hutan di pelosok Jawa. Laporan perihal adanya kucing besar baik perjumpaan langsung maupun jejaknya di dalam hutan oleh penduduk lokal masih sering terdengar dan dilaporkan ke perangkat Desa dan Mandor Perkebunan. Steidensticker (1976) mengatakan bahwa pengamatan yang berturut-turut menunjukkan bahwa binatang itu adalah macan tutul (Panthera pardus melas). Tetapi pada akhir tahun 1960-an, ada laporan khusus yang menyakinkan tentang masih adanya harimau di daerah Gunung Betiri, yaitu daerah kompleks pegunungan di pantai Selatan Pulau Jawa, 60 km di sebelah Barat Daya kota Banyuwangi.
Sekali lagi Steidensticker (1976) melakukan pencatatan bahwa: pada tahun 1961, seorang pemburu bangsa Denmark membunuh seekor harimau dan macan tutul di pegunungan ini dan beberapa pengamat mengatakan dengan tegas bahwa beberapa ekor harimau masih hidup di situ. Ditambahkan pula dalam catatannya bahwa Dr. R. Van der Veen, seorang ahli botani yang sudah lama mengenal Jawa Timur, mengunjungi daerah itu pada tahun 1971, dan melaporkan kemungkinan adanya populasi harimau. Pada akhir tahun itu, seorang naturalis yang terkenal, A. Hoogerwerf mengadakan penelitian di daerah Meru Betiri dan mengemukakan dengan pasti tentang adanya harimau dalam jumlah sedikit. Jika masih ada keinginan untuk melindungi harimau loreng, Meru Betiri lah tempatnya. Pendapat ini menjadi landasan penguat bagi Steidensticker guna melakukan penelitian cepat dari bulan Juni – September 1976 atas permintaan Direktur PPA.
Sebuah kelangsungan hidup harimau loreng di alam bebas memang sangat bergantung pada adanya perlindungan dan pemeliharaan habitat secara ketat. Oleh karena itu dari informasi yang telah diketahui dengan pasti tentang adanya sejumlah kecil harimau loreng, maka yang berwenang terhadap suatu Kawasan Konservasi diharapkan harus segera bertindak. Hal inilah yang membuat Departemen Pertanian menjadikan petak-petak hutan lindung yang secara keseluruhan merupakan kompleks Meru Betiri ditetapkan sebagai Suaka Margasatwa dengan surat keputusan Menteri Pertanian dalam bulan Juni 1972, papar Steidensticker (1976).
Ditetapkannya SM Meru Betiri secara resmi merupakan langkah pertama dalam usaha melindungi harimau dan habitatnya. Sejumlah penelitian telah diadakan untuk menentukan status harimau dan menetapkan prioritas-prioritas di dalam pengelolaannya. Penelitian tersebut telah menyajikan pandangan yang sangat berguna tentang status harimau dan keterangan-keterangan penting mengenai fauna lain dan flora di dalam kawasan itu. Laporan dari Bartels dan van der Veen, misalnya,menentukan pentingnya Meru Betiri sebagai salah satu sisa terakhir dari hutan hujan dataran rendah di Jawa, dengan adanya jenis-jenis tumbuhan langka seperti Rafflesia zollingeriana dan Balanophora fungosa catat Steidenstiker (1976).
Dengan tegas pula Steidensticker (1976) mengingatkan kepada kita bahwa dengan semua usaha perlindungan terhadap kawasan tersebut, masa depan harimau loreng maupun masa depan Suaka Margasatwa Meru Betiri belum terjamin, diakibatkan oleh adanya:
- Tidak pernah dilaporkan adanya perkembang-biakan harimau sejak tahun 1971, yaitu ketika seekor harimau betina ditembak di perkebunan Sukamade.
- Perlindungan bagi daerah itu jauh dari memadai.
- Keseimbangan ekologi Suaka itu sangat dirusak oleh adanya enclave dua perkebunan besar yang meliputi sebagian besar lembah-lembah sungai utama yang merupakan habitat yang paling cocok untuk harimau dan mangsanya.
Walaupun begitu, Steidensticker telah berhasil menyusun sebuah panduan pola pengelolaan kawasan Suaka Margasatwa yang diperuntukkan bagi perlindungan spesies harimau loreng berikut rencana kerja dan landasan obyektif yang menyertainya. Di ikhtisar laporan tersebut Steidensticker mengemukakan bahwa harimau loreng terancam bahaya kepunahan, maka kemungkinan terbaik untuk melindungi harimau loreng di alam bebas ialah dengan cara:
- Pengembangan kesadaran dan simpati penduduk terhadap keadaan yang menyedihkan dari binatang tersebut.
- Perlindungan yang ketat dari pembunuhan lebih lanjut.
- Pengelolaan yang hati-hati dari Suaka Margasatwa Meru Betiri, dimana keperluan untuk hidup bagi harimau dijadikan tujuan yang utama.
Penelitian demi penelitian yang berkaitan dengan harimau loreng selalu dikaitkan di kawasan SM Meru Betiri, tentunya setelah Hoogerwerf memperkirakan terjadinya kemerosotan populasinya di kawasan Ujung Kulon di tahun 1950. Oleh karena itu di tahun 1971 Hoogerwerf meneliti SM Meru Betiri menggunakan metode pengamatan lapang dan menyatakan masih eksisnya harimau jawa di kawasan ini. Lalu Steidensticker mempertajam penelitian guna penguatan status konservasinya di tahun 1976 menggunakan metode amatan lapang. Berikut penelitian oleh Silva IPB tahun 1987 yang juga masih mencatat temuan cakaran, feses dan jejak harimau loreng juga masih menggunakan metode amatan lapang. Tahun 1990 PIPA se-Eks. Karesidenan Besuki melakukan kajian di SM Meru Betiri (calon Taman Nasional) menggunakan metode amatan lapang dan masih menjumpai bekas aktivitas harimau loreng. Pemantauan menggunakan kamera trap sistem injak dilakukan WWF tahun 1993 dan menyatakan harimau loreng sudah “punah” dikarenakan tidak terfoto sosoknya. Dan tidak ada laporan yang dikemukakan WWF perihal temuan bekas aktivitas harimau loreng berdasarkan amatan lapang.
Seiring perkembangan waktu, SM Meru Betiri dicanangkan berubah menjadi Taman Nasional. Semangat pemantauan eksistensi harimau loreng di kawasan konservasi ini masih juga terus berlanjut, hal ini dengan dilakukannya Ekspedisi Meru Betiri oleh Pecinta Alam se P. Jawa dalam Pendidikan Lingkungan Kapai tahun 1997. Ekspedisi PL-Kapai 1997 masih juga dilakukan dengan metode amatan lapang dan masih berhasil menemukan bukti bekas aktivitas harimau loreng. Di tahun yang sama bulan Nopember dilakukan pendalaman oleh PA dengan TNMB dan sekali lagi masih menemukan bekas aktivitas harimau loreng. Bahkan data yang terkupul dari dua pemantauan tersebut diseminar-nasionalkan di UC UGM tahun 1998, diakui perihal eksistensi harimau jawa di TN Meru Betiri dan direkomendasikan perlunya dilakukan pengamatan secara stasioner dan berkelanjutan di kawasan ini.
Temuan bukti eksistensi harimau loreng di TN Meru Betiri dan metode pengamatan lapang hasil belajar dari pemburu lokal, pemanen hasil hutan dan Jagawana Meru Betiri telah dirangkum menjadi sebuah buku Berkawan Harimau Berama Alam oleh penulis dan diterbitkan tahun 2001. Hal ini merupakan babak baru bagi periode konservasi harimau loreng dipergantian milenium Abad XXI, dimana temuan rambut yang teridentifikasi sebagai milik harimau jawa merupakan bukti otentik terbaru menggantikan sosok foto yang banyak diharapkan oleh konservasionis harimau Internasional. Untuk itu kebutuhan kedepan atas konservasi harimau loreng di TN Meru Betiri terletak pada pijakan konsep Manajemen Habitat secara komprehensip, sebagaimana usulan Steidensticker (1976): dimana pengelolaan habitat satwa mangsa menjadi prioritas guna memenuhi kebutuhan dasar hidup bagi harimau loreng atas satwa mangsanya.
Membicarakan harimau jawa Panthera tigris sondaica di Abad XXI, sungguh sangat menggairahkan, terlebih satwa kharismatik yang men-dunia ini hanya ada di Pulau Jawa dan meskipun telah dinyatakan PUNAH namun penelitian lanjutan di era 1990-an masih menjumpai bekas aktivitasnya. Sedangkan perjumpaan dengan harimau loreng juga masih dituturkan masyarakat lokal pemanen hasil hutan di TN Meru Betiri hingga era 2010-an. Oleh karena itu mendalami spesies ini berarti akan belajar manajemen kawasan konservasi di ‘Pulau Terpadat Penduduknya’ sehingga Plasma Nutfah Jawa -hasil Warisan Alam Ribuan tahun yang lalu dapat tetap dilestarikan. Apalagi TN Meru Betiri merupakan salah satu “prototipe” hutan alami Jawa yang terbentang dari permukaan laut hingga ketinggian 1220 m dpl. Yang masih tersisa saat ini.