Pada suatu ketika, pada tahun 2009, ternyata aku pernah menjalani sebuah "ritual api"... hahahaahaa...
Sewaktu kecil, aku pernah mendapatkan cerita dari Nenek (garis Bapak), bahwa dulu... ya... dulu sekali, kakekku pernah melakukan hal yang sama: "ritual api". Hanya saja, jaman dulu kakekku menunggui tanaman jagung di tepi hutan agar terjaga dari babi hutan... tapi gubug yang dipakai jaman dulu bersifat panggung.
Cerita Nenekku, bahwa gubug panggung itu bukan hanya untuk seni, tetapi juga untuk meluaskan area pandang, sebab posisinya harus lebih tinggi dari tanaman jagung, sehingga pandangan lebih luas. Itu kalau untuk penjagaan siang. Nah, kalau penjagaan malam, maka di bawah gubug panggung ini agak geser sedikit ke depan pasti diberi "bedhiyang" (perapian). Untuk menjaga kehangatan udara malam, mereka merebus kopi "klothok" dan memberikan tanda kepada satwa hutan bahwa ada manusia.
Pernah suatu malam, tutur Nenekku, selepas sepertiga awal malam, selesai membuat kopi klothok, dengan posisi kakek sudah di atas gubug, ternyata di depan bedhiang itu ada "kyaine" yang ikut menghangatkan badan. Karenanya Kakek bilang ke Nenek, sampai pagi setelah matahari naik, baru berani turun dari gubuk. "Aman bu, semalam dibantu jaga kyaine" tiru Nenekku. Dan aku bertanya, "kyaine itu apa, Mbah?" "Macan loreng Le," jawab Nenek.
Nah, ternyata aku juga pernah "ritual api".
Selama empat malam, menjaga nyala api. Tujuannya agar kyaine datang lalu kupotret. Karena sudah empat malam dan belum datang, maka di malam terakhir ya... saya potret saja ritual api itu.
Kalau kakek sendirian zaman dulu, ternyata aku juga sendirian malam itu. Hanya saja kalau saya membawa kamera dan memotret malamnya.
Kalau kakek di gubug panggung, sedangkan saya di gubug rata tanah.
Foto di bawah ini adalah jepretan saya dimana kamera dalam posisi di atas "tigakaki" dan siap jepret. Posisi menunggu dalam malam penuh kantuk itu ternyata memompa energi. Ngliyut aliyep-liyep.
Kalau kakekku didatangi kyaine, sedangkan aku didatangi Mbah Suradita (yang berwajah tampan dengan kumis tebal penuh wibawa dengan uluk salam yang sangat jelas). Selesai menjawab salam, ternyata "aku" sedang di samping badanku yang tertidur pulas.
Sebagai manusia yang selalu dalam kerumunan orang, bermalam sendirian di gubug di tepi hutan selama empat malam adalah sebuah pendadaran diri dalam mensahabati pikiran dan ketakutanku sendiri. Ritual api ternyata bersifat genetik... hahahaa...
Perjalanan itu akan menjadi bermakna, jika peduli sudah bermetamorfosis menjadi cinta... dan cinta akan membawamu menemukan banyak keindahan pengetahuan kesadaran... tanpa kata... hanya rasa...