PKJ meluncur dari Cirebon menuju lereng Gunung Merapi dengan jarak tempuh 350 km dalam waktu 10 jam menggunakan sepeda motor. Pemasangan kamera trap CamDeer ini berlangsung selama sekitar 12 hari, sebagai langkah awal dalam penjajagan pemantauan kembali eksistensi macan tutul jawa di kawasan Taman Nasional Gunung Merapi (TNGM).
Berita di koran sepuratan Jogjakarta dan Jawa Tengah, pada tahun 2010-2011 memuat laporan tentang perjumpaan warga terhadap macan tutul, terutama sebelum dan sesudah letusan Merapi pada 2010. Perjumpaan macan oleh masyarakat itu terjadi di lereng Barat, Selatan dan Timur. Adanya laporan perjumpaan itu menjadikan berbagai pihak melakukan usaha penangkapan karena macan dianggap akan menimbulkan konflik (walaupun belum ada laporan penyerangan ternak) dan sejak dulu macan tutul telah menghuni hutan Merapi.
Dari Kliping koran 2010: “Sejumlah anggota Brimob Kepolisian diturunkan ke perbatasan hutan dan perkampungan untuk menyisir keberadaan macan tutul. Kebon Binatang Gembira Loka Jogja antusias dengan melakukan pemasangan kandang jebak menggunakan umpan daging ayam dan anjing hidup”. Namun usaha mereka semua itu tanpa hasil. Lantas apakah harus disimpulkan bahwa macan di TNGM hanyalah isapan jempol dan masyarakat salah identifikasi?
Pada awal Desember 2012, PKJ dihubungi Balai TNGM guna sering pengenalan bekas aktivitas macan tutul kepada Jagawana dan PEH. Pada sesi pendedahan di hutan dan pengumpulan informasi dari masyarakat sekeliling Gn Merapi, PKJ berinisiatif memasang kamera trap sebagai usaha penjajagan awal. Sebab walaupun lokasi hutan TNGM ini berdekatan dengan banyak Universitas ternama di Jogja dan Solo, namun Lembaga-lembaga Pendidikan tersebut belum tergerak melakukan riset macan tutul menggunakan kamera trap. (semoga usaha PKJ dengan pemasangan kamera trap ini menjadi inspirasi mereka).
Pada saat pengambilan kamera trap setelah ditanam selama 2 minggu, PKJ ditemani wartawan dari Mongabai.com dan kamerawan dari salah satu PH di Jogjakarta. Pengambilan kamera, pengenalan kamera trap dan cara kerjanya berhasil direkam. Tak ketinggalan juga PKJ diwawancari tentang kegiatan pembuktian eksistensi harimau jawa yang sudah dianggap punah. Kenapa PKJ bersikukuh bahwa harimau jawa masih ada. PKJ memberikan informasi secara gamblang, bahwa perlindungan hutan di Jawa dan restrukturisasinya hanya dapat dilakukan dengan serius jika harimau jawa yang sering dijumpai warga yang sering masuk hutan berhasil dibuktikan secara ilmiah (haruskah foto?).
Bukti bekas aktivitas harimau jawa yang sudah dimiliki PKJ hasil berkegiatan bersama Pecinta Alam, NGO Konservasi, BKSDA dan Taman Nasional sejak 1997 bahkan sudah disusun menjadi buku 2001; masih dianggap ‘hoac’ & ‘gosip ilmiah’, selama belum didapatkan sosok fotonya. Di awal-awal penyigian, hanya kawasan hutan di Jawa Timur yang menjadi area penelitian; baru kemudian meluas ke Jawa Tengah, Jogjakarta dan saat ini di Jawa Barat sisi Timur. Dalam rentang waktu lebih dari 15 tahun, sepertinya semua hanya ‘menonton’ terhadap aktivitas PKJ bersama masyarakat tempatan khususnya mereka yang berprofesi memanen hasil hutan dalam penyigian eksistensi harimau loreng jawa.
PKJ berprinsip bahwa HUTAN merupakan sumber inspirasi PERADABAN manusia Jawa, jika hutan di Jawa telah musnah, maka MATI-lah Peradaban Jawa. Dan untuk mencegah pemusnahan hutan itu, maka diperlukan sosok Macan tutul jawa atau Harimau loreng jawa yang secara ekologis menjadi Top Predator dan Spesies Kunci. Terlepas dari pandangan Ekolog, bahwa Karnivor Besar di Jawa secara EKOLOGIS TELAH PUNAH, jadi keberadaan INDIVIDU-INDIVIDU yang TERSISA cenderung diabaikan tanpa pernah melakukan riset sekecil apapun terhadap peran ekologis macan tutul jawa yang jelas-jelas masih mudah dijumpai di berbagai tipikal hutan. Jika tuntutan ilmiah dibebankan terhadap ‘eksistensi harimau jawa’; sebaliknya KENAPA banyak kebijakan terhadap hutan di Jawa sebagai habitat karnivor hanya berlandaskan HIPOTESIS; sebagai contoh: kepadatan penduduk Jawa 1055 orang/km2 lalu dimana karnivor besar akan sembunyi ????