Publikasi tentang penelitian harimau jawa pasca 1994 masih sangat kurang. Klaim tentang kepunahan harimau jawa sudah terlalu mengakar, menjadikan para akademisi 'tidak berani menelitinya'. Padahal masyarakat lokal yang berprofesi sebagai pemburu masih sering berjumpa dengan harimau loreng. Kami dari Peduli Karnivor Jawa (PKJ) berusaha menguak keberadaan harimau jawa secara ilmiah berdasarkan bukti temuan bekas aktivitas yang ditinggalkannya dari hasil pemantauan lapang selama hampir tujuh tahun.
Beberapa sampel temuan bekas aktivitas harimau jawa kami koleksi dari berbagai habitat di Jawa. Hasilnya saya pertanggungjawaban secara ilmiah menjadi buku bertajuk Berkawan Harimau Bersama Alam yang terbit tahun 2002. Di dalam buku ini memuat gagasan-gagasan saya tentang konsep hidup berbagi ruang antara manusia Jawa dengan harimau jawa. Meskipun Jawa merupakan pulau terpadat di bumi, tetapi masih banyak masyarakat yang memiliki budaya arif terhadap harimau jawa. Sebagai penghuni Jawa saya bertanggung jawab dan menyadari bahwa pengelolaan habitat di Jawa sudah seharusnya dilandasi ‘konsep pengelolaan pulau’.
Meskipun harimau jawa telah dianggap punah, bahkan Tiger Foundation sangat yakin tentang kepunahannya, kami berhasil menemukan jejak kaki, feses, garutan di pohon dan rambut yang kesemuanya itu mengindikasikan masih adanya satwa endemik Jawa tersebut. Perlu dipahami, bahwa kehadiran spesies di suatu habitat dapat dideteksi berdasarkan bekas aktivitas yang ditinggalkannya, demikian halnya dengan harimau jawa. Sebagai karnivor, harimau jawa telah beradaptasi dengan sempurna guna menyembunyikan sosok tubuhnya agar tidak diketahui prey. Sehingga tidaklah mudah melihat secara manual sosok harimau jawa di hutan tropis Jawa, jika kita hanya setahun atau dua tahun saja mengunjungi habitatnya. Kecuali orang yang kesehariannya benar-benar berinteraksi dengan habitat harimau jawa.
Bekas aktivitas harimau sumatera dan macan tutul di berbagai kebun binatang di Jawa kami jadikan sebagai referensi pembanding. Ukuran besarnya bekas aktivitas yang kami temukan jika melebihi ukuran maksimum macan tutul dan sama atau bahkan lebih besar dari ukuran harimau sumatera, maka kami klaim sebagai milik harimau jawa. Hasil survey kami dari berbagai habitat di Jawa menemukan jejak kaki (28x26 cm), feses berdiameter 7 cm, garutan di pohon (luka tertinggi 252 cm), bahkan rambut harimau jawa.
Rambut harimau jawa dan macan tutul opsetan milik Musium Zoologi LIPI, kami gunakan sebagai pembanding rambut temuan lapang. Medula rambut harimau jawa (bertipe Intermediate berpola Regulare) berbeda strukturnya jika dibandingkan medula rambut macan tutul (bertipe Discontinue berpola Irregulare). Identivikasi menggunakan Scanning Electron Microscop (SEM) terhadap rambut yang berasal dari garutan baru di pohon, menguatkan eksistensi harimau jawa. Sehingga berhasil diketahui bahwa harimau jawa tidak hanya di TN. Meru Betiri, karena kami juga menemukan rambut harimau jawa di Jawa Tengah yang berjarak lebih dari 600 kilometer dari habitat terakhirnya.
Akhirnya kami berkesimpulan, pertama: habitat terakhir harimau jawa adalah Pulau Jawa (bukan hanya TN. Meru Betiri); kedua: harimau jawa masih eksis berdasarkan temuan bekas aktivitasnya.
Jogjakarta, 2004