Sosok karismatik harimau jawa bertubuh besar dari Jawa Timur |
Sebuah pertanyaan menarik untuk dikaji tetapi sangat berat untuk dijawab adalah: apakah harimau jawa benar-benar sudah punah? Guna menjawab pertanyaan tersebut perlu argumen ilmiah, bukan sekedar jawaban gegabah. Dibutuhkan penelitian mendalam pada seluruh habitat harimau jawa yang tersisa secara terprogram dan bukan atas kajian temporal yang dilakukan secara sampling. Hal ini dikarenakan harimau jawa bertubuh besar tetapi untuk mempertahankan kelangsunganhidupnya harus mampu menerkam mangsa dari jarak dekat, maka harimau jawa mengembangkan kemampuan agar tidak mudah dilihat hewan mangsanya. Kondisi tersebut tentu menjadikannya juga tidak mudah dijumpai manusia secara langsung (elusiv).
Haruskah Foto?
Sosok foto harimau jawa setelah tahun 1994 bukanlah satu-satunya jawaban mutlak untuk mengklaim eksistensinya. Kita bisa mendeteksi kehadiran hewan disuatu habitat meskipun berdasarkan tapak kaki, temuan kotoran, bekas aktivitas yang ditinggalkan seperti garutan di pohon atau di tanah, temuan bagian tubuh seperti tengkorak kepala, rambut dan kelupasan kuku bahkan rontokan giginya.
Pendukung deteksi keberadaan harimau jawa di hutan dapat dengan mudah dikenali tentunya setelah kita memahami karakteristik satwa target. Penuturan masyarakat lokal pelihat harimau jawa merupakan kunci pembuka untuk menjawab pertanyaan tentang kepunahan satwa endemik Jawa ini. Karena masyarakat yang hidup berdampingan dengan habitat harimau jawa masih berinteraksi berarti eksistensi satwa terklaim punah ini masih ada. Untuk itu sesegera mungkin kita harus 'mandiri' dalam mengilmui harimau jawa, bukan selalu bergantung kepada ilmuwan yang tidak tinggal selamanya di P. Jawa.
Cakaran harimau jawa setinggi 210 cm di batang pohon |
Sebenarnya mengapa kita "terusik" atas kepunahan harumau jawa ini? Padahal harimau jawa dan bali sudah dinyatakan punah. Kepunahan harimau bali diduga sejak tahun 1940-an, sedangkan harimau jawa diduga sejak tahun 1980-an. Pertemuan tahunan CITES (Conservation on International Trade in Endangered Spesies of Wild Fauna and Flora) di Fort Lauderdale, Florida, Amerika Serikat bulan Desember 1996, menetapkan satwa liar harimau jawa sudah punah dari muka bumi ini (Republika, 1997).Sebab banyak usaha-usaha demi penyelamatan habitat harimau jawa selalu tidak mendapatkan respon dari siapapun, sekali lagi karena satwa ini telah dianggap punah.
Sebagai contoh dampak dari pernyataan punah harimau jawa, adalah menjadikan setiap usaha guna mengkaji ulang keberadaan hewan tersebut di luar kawasan TN Meru Betiri dianggap sebagai kegiatan sia-sia. Padahal pengkajian keberadaan harimau jawa selama ini selalu difokuskan hanya di TN Meru Betiri dan tidak pernah beranjak keluar dari kawasan tersebut. Kemungkinan kalim bahwa TN. Meru Betiri sebagai habitat terakhir dilandasai pemikiran bahwa Meru Betiri memiliki habitat ideal bagi harimau jawa. Kondisi tersebut didukung dengan temuan jejak yang diduga milik harimau jawa oleh Seidensticker tahun 1974 dan hasil penelitiannya saat itu menduga masih ada sekitar 3 – 4 ekor.
Habitat Harimau Jawa adalah Pulau Jawa
Kenapa pada tahun 1974 yang diteliti hanya diwilayah TN Meru Betiri? Sedangkan hutan disekitarnya (seperti Gn. Argopuro, Gn. Raung, Gn. Panataran, Gn. Rante, Gn. Ijen, Gn. Merapi Ungup-ungup dan Alas Purwo) tidak dilakukan pemantauan harimau jawa. Apalagi ke daerah lain yang berjarak ratusan kilometer dari Meru Betiri (seperti di Gn. Wilis, Gn. Arjuno, Gn. Lawu, Gn. Muria, Gn. Merapi, Pegunungan Seribu, Pegunungan Menoreh, Pegunungan Dieng, Gn. Slamet, Gn. Cermai, Leuweng Sancang dan Ujung Kulon). Padahal lokasi-lokasi tersebut pada tahun 1974 sangat memungkinkan sebagai habitat harimau jawa. Lebih mengherankan lagi bahwa yang meneliti harimau jawa saat itu kebanyakan bukan dari orang Indonesia.
Bukti Eksistensi Harimau Jawa
Pernyataan kepunahan harimau jawa sebenarnya sudah terbantahkan dengan adanya pelaporan dari seorang jagawana TN Meru Betiri yang melihat seekor harimau loreng melintas di Sukamade Pantai th 1993 (Pak Watono); ditemukannya: jejak berukuran (26x28) cm th 1997 di Sukamade (FK3I Korda Jatim); feses berdiameter 6 cm di th 1998 (Jagawana TNMB), feses berdiameter 7 cm th 2004 di Watu Gembuk (tetangga Pk Netran CO Kappala Indonesia) dan jejak berukuran (14X16) cm th 2006 (PEH TNMB). Disamping itu masyarakat sekitar hutan TN. Meru Betiri (warga Samenrejo, Bandealit, Sumbersari, Terbasala dan Baban) masih sering menginformasikan tentang perjumpaan dengan macan loreng, bukan macan tutul.
Selain itu, jauh di luar TNMB pembunuhan harimau jawa masih terjadi, seperti di Blora th 1995 (Pak Agus) dan 2002 (Pak Aries); di Gn. Wilis th 1996 (Pak Erwin); di Gn. Slamet th 1997 (Pak Carik Pekuncen); di dekat Ujung Kulon th 2000 (Mohamad Akmal); di Gn Muria th 2001 (Petugas Pariwisata) dan 2008 (Seksi BKSDA Pati); di Ciamis th 2008 (Pak Jono); dan di Baluran th 2009 (Ust. Didik). Tahun 1999 harimau loreng terlihat di Ujung Kulon oleh peneliti feses Badak (Oskar LIPI); th 2001 di Gunung Cermai (Pak Piet); th 2002 di lereng barat Gn Merapi (Pemburu Kijang Babadan); th 2003 di perbukitan Menoreh (Pemandu Wisata Borobudur) bahkan th 2008 di Nusakambangan (Pak Edo). Dan seorang S-3 yang masih memantau harimau jawa di suatu kawasan dari tahun 1986 sampai sekarang (sayang Beliaunya belum bersedia dipublikasikan).
Menjadi Gerakan Peduli Karnivor Jawa
Apakah harimau loreng tersebut bukan harimau jawa? Ataukah harimau loreng yang dijumpai masyarakat tersebut merupakan harimau sumatera yang dilepaskan oleh pemeliharanya sesaat setelah Indonesia dilanda krisis moneter seperti yang dituduhkan banyak kalangan? Tetapi bagaimana mungkin informasinya tersebar di hampir seluruh penjuru Jawa, oleh orang yang berbeda profesinya.Dan... yang terpenting, sampel kulit sisa pembunuhan yang ditunjukkan oleh mereka jelas sebagai kulit harimau jawa walaupun kami analisis berdasarkan struktur rambut menggunakan mikroskup cahaya. Sekarang kami sedang 'menitipkan' spesimen temuan kulit harimau jawa itu guna dianalisis DNA -nya...
Oleh karena itu !!! Marilah kita sebagai penghuni Pulau Jawa membangun kepedulian terhadap hidupan liar, atau setidaknya ber-EMPATI demi kelestarian habitatnya.